Terkadang iman tidak bisa dilogika oleh seorang hamba,
karena iman bukan terletak di otak melainkan keyakinan yang tinggi
seorang hamba kepada Rabbnya.
Jalan iman itu banyak rintangan dan kerikilnya selalu tajam serta menyakiti kaki kehidupan. Tetapi bukankah Rabb semesta Alam yang memberikan pertolongan kepada setiap hamba yang beriman secara benar? Karena sungguh pertolongan jauh lebih besar dari ujian yang diberikan kepada insan yang beriman.
Kadang konsekuensi iman begitu berat. Contohnya, Nabi yang menolak untuk duduk di Darun Nadwah ataupun menolak kesepakatan untuk saling bergantian dalam beribadah sehingga turun surat Al-Kafirun.
Ia juga kadang harus melepas sebuah kesempatan besar ketika kesempatan itu tercampur antara kebenaran dan kebatilan.
Bukankah Nabi saw hampir saja menyepakati sebuah kesempatan besar ketika musyrikin menawarkan jalan tengah kepada Rasul supaya mengusap kaki berhala dan dengan itu kaum musyrikun akan berbondong-bondong masuk Islam, tetapi Allah menurunkan surat Al-Isra ayat 73-75?
kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia Ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap kami.”
Jalan iman terkadang menyebabkan kita seakan kalah di mata manusia, sebagaimana Nabi saw yang harus terusir dari kampung tercinta. Sebagaimana nabi Musa yang meninggalkan Mesir dan dikejar oleh Firaun. Tetapi lihatlah sejarah bahwa kemenangan datang pada detik-detik yang terakhir, ketika Allah membalik semua keadaan.
Bukankah hijrah yang identik dengan terusir justru menjadi pukulan terberat kaum musyrik? Dan bukankah tongkat nabi Musa yang mengubah lautan menjadi daratan? Padahal beberapa detik sebelumnya Nabi Musa masih kebingunan apa yang harus dilakukan karena di hadapannya lautan dan di belakangnya Firaun?
Jadi, jalan iman tidak usah dilogika, karena ia bukan logika khas akal. Ia adalah keyakinan terhadap Rabbnya.
Ketika kami tidak memilih, janganlah engkau salahkan jalan keimanan kami, karena kami memilih jalan ini sebagai konsekuensi iman, sembari menghibahkan diri untuk terus berjuang di jalan Allah.
Janganlah demokrasi; sebuah jalan daruratmu menyalahkan kaum mukminin yang berpegang kepada janji Allah. Sungguh kami meyakini janji Allah adalah kepastian.
Penulis: Oemar Mita, Lc
Jalan iman itu banyak rintangan dan kerikilnya selalu tajam serta menyakiti kaki kehidupan. Tetapi bukankah Rabb semesta Alam yang memberikan pertolongan kepada setiap hamba yang beriman secara benar? Karena sungguh pertolongan jauh lebih besar dari ujian yang diberikan kepada insan yang beriman.
Kadang konsekuensi iman begitu berat. Contohnya, Nabi yang menolak untuk duduk di Darun Nadwah ataupun menolak kesepakatan untuk saling bergantian dalam beribadah sehingga turun surat Al-Kafirun.
Ia juga kadang harus melepas sebuah kesempatan besar ketika kesempatan itu tercampur antara kebenaran dan kebatilan.
Bukankah Nabi saw hampir saja menyepakati sebuah kesempatan besar ketika musyrikin menawarkan jalan tengah kepada Rasul supaya mengusap kaki berhala dan dengan itu kaum musyrikun akan berbondong-bondong masuk Islam, tetapi Allah menurunkan surat Al-Isra ayat 73-75?
وَإِنْ كادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنا
إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنا غَيْرَهُ وَإِذًا لاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا
(73) وَلَوْلا أَنْ ثَبَّتْناكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا
قَلِيلًا (74) إِذًا لَأَذَقْناكَ ضِعْفَ الْحَياةِ وَضِعْفَ الْمَماتِ
ثُمَّ لا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنا نَصِيرًا (75)
“Dan Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang
telah kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia Ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap kami.”
Jalan iman terkadang menyebabkan kita seakan kalah di mata manusia, sebagaimana Nabi saw yang harus terusir dari kampung tercinta. Sebagaimana nabi Musa yang meninggalkan Mesir dan dikejar oleh Firaun. Tetapi lihatlah sejarah bahwa kemenangan datang pada detik-detik yang terakhir, ketika Allah membalik semua keadaan.
Bukankah hijrah yang identik dengan terusir justru menjadi pukulan terberat kaum musyrik? Dan bukankah tongkat nabi Musa yang mengubah lautan menjadi daratan? Padahal beberapa detik sebelumnya Nabi Musa masih kebingunan apa yang harus dilakukan karena di hadapannya lautan dan di belakangnya Firaun?
Jadi, jalan iman tidak usah dilogika, karena ia bukan logika khas akal. Ia adalah keyakinan terhadap Rabbnya.
Ketika kami tidak memilih, janganlah engkau salahkan jalan keimanan kami, karena kami memilih jalan ini sebagai konsekuensi iman, sembari menghibahkan diri untuk terus berjuang di jalan Allah.
Janganlah demokrasi; sebuah jalan daruratmu menyalahkan kaum mukminin yang berpegang kepada janji Allah. Sungguh kami meyakini janji Allah adalah kepastian.
Penulis: Oemar Mita, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar